Jika kita memperbincangkan tentang
mahasiswa, tak ubahnya kita juga akan menanyakan bagaimana kabar gerakan
mahasiswa saat ini. Menilik lebih dalam lagi tentang gerakan mahasiswa,
tentunya tidak luput dari perjalanan bangsa yang meraih kemerdekaan dengan
semangat pemuda. Seperti halnya organisasi kepemudaan yang hidup di tahun
1915an, dimana di era tersebut organisasi kepemudaan masih membawa unsur
kedaerahannya. dr Satiman Wiriosandjojo selaku Ketua Perkumpulan Jong Java yang
pertama (1915-1917); Anggota Kehormatan, merupakan salah satu motor pergerakan
pemuda di Indonesia. Pergerakan tersebut melahirkan pergerakan pemuda baru yang
masih membawa entitas kelompok daerah masing-masing, seperti Jong Bataks Bond,
Jong Sumatran Bond, dan lainnya. Koentjoro Poerbopranoto, dalam artikelnya
Korban Jong Java terhadap kepada Tanah Air Kita, Gedenkboek, Jong Java
1915-1930 a.l. menulis:
...........Bintang
baroe memantjarkan sinarnya menerangi alam Indonesia. Jong java yang telah
lama dikandoeng tanah Timoer yang pada masa itoe moelai sedar, dilahirkan
dari fikiran seorang murid Stovia yang bijaksana. Lahirnya semangat moeda
ini menimbulkan soeatoe kedjadian jang nanti njata mendjadi motor
mengepalai pergerakan pemoeda Indonesia.
Perlahan-lahan
menghindarkan bahaja, serta berhati-hati meraba dalam gelap-gelita,
moelailah saudara Satiman bersama-sama dengan kawan-kawanya yang telah
bangoen poela, melengkahkan kaki menoedjoe hidoep pergerakan jang amat
soelit itoe.
|
Keadaan
tersebut seakan menjanjikan gerakan pemuda di Indonesia akan mengalami masa
depan yang cerah. Tidak berhenti sampai di sini, embrio pergerakan pemuda
seakan tumbuh menjadi janin yang sehat. Pada saat itu, perlahan-lahan mulai
muncul beberapa universitas-universitas yang melahirkan mahasiswa-mahasiswa
yang dididik sesuai dengan keahliannya. Seperti Technische Hoogschool (THS)
yang didirikan di Bandung tahun 1920. Tahun 1924 dibuka Rechtsoogeschool (RHS) di Jakarta tahun 1927, dan masih banyak lagi.
Universitas-universitas tersebut telah menyatukan pemuda-pemuda dari sabang
sampai merauke. Para mahasiswa-mahasiswa inilah yang pertama kali mepunyai
tekad untuk mempersatukan sekalian penduduk pribumi di kepulauan kita sebagai
satu bangsa.
Di
mulai dengan peristiwa akbar pada tanggal 28 Oktober 1928, memperlihatkan
bahwasanya tindakan pemuda-pemuda ini merupakan suatu lelucon bagi kalangan
tua. Saat itu banyak kalangan tua yang beranggapan tidak mungkin menyatukan
segenap bangsa ini, apalagi melihat keadaan Indonesia yang memiliki beragam
tradisi yang berbeda. Tapi hal ini ditentang oleh kalangan muda, alasan
tersebut tidak menghalangi semangat muda mereka demi menyatukan segenap bangsa
Indonesia. Sebuah konsensus Sumpah Pemuda itupun menyadarkan, bahwasanya kita
segenap bangsa Indonesia haruslah melakukan perlawanan kepada kaum penjajah
atau kolonial yang hidup di era tersebut.
Pergerakan
nasionalisme tersebut telah menunjukkan lebih teroganisir, dengan asas, tujuan,
dan prospek yakni mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Mengutip dari tulisan
Khatibul Umam Wiranu bahwasannya nasionalisme yang kuat bersumber pada
“kehendak kuat” untuk bersatu. Suatu adagium dari Ernest Renan yang dianut oleh
para pemuda modernis kala itu.[2]
Perumusan dalam Kongres II, Oktober 1928 telah menyatakan bahwasanya Bahasa
Indonesia merupakan bahasa persatuan bagi segenap Bangsa Indonesia, hal ini
menggambarkan bahwasanya pergerakan pemuda di jaman tersebut benar - benar
mengkokohkan sendi - sendi bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam
suku dan budaya.
Salah
satu bukti kesepahaman tersebut termaktub dalam tulisan Keith Foulchert
bahwsanya, Poernomowoelan seorang panelis perempuan dalam kongres itu membaca
makalah yang ditulisnya dalam bahasa Belanda. Kemudian keadaan tersebut
memunculkan keinginan untuk membacanya lagi dalam bahasa Indonesia, kemudian
para peserta kongres meminta Mohammad Yamin membacanya lagi dalam bahasa
Indonesia.[3]
Kejadian itulah menjadi triger
pergerakan persatuan pemuda Indonesia.
Tidak
hanya berhenti sampai di Kongres Sumpah Pemuda, perlehelatan perjuangan bangsa
ini seakan tidak pernah luput dari cengkraman pemuda. Tahun 1966 yang merupakan
tahun dimana muncul gerakan “DPR Jalanan”, yang kemudian melahirkan Tritura
(Tiga Tuntutan Rakayat) yang telah sukses merubah konstelasi kehidupan politik bangsa
Indonesia. Hal ini telah menunjukkan gerakan pemuda yang dimotori oleh kalangan
mahasiswa masih ada sesuai dengan tujuan awal, yaitu keinginan untuk mewujudkan
masyarakat yang sejahtera. Banyak nama yang menjadi dalang pergerakan di tahun
1966, nama-nama tersebut merupakan pemuda yang mengatasnamakan dirinya sebagai
manusia-manusia baru. Mengutip dari salah satu pernyataan Soe Hok Gie yang
termaktub dalam pengantar redaksi Kompas ;
“Tanpa kita sadari
di bumi Indonesia kini telah tumbuh suatu lapisan baru, pemuda – pemuda,
pemudi – pemudi Indonesia yang dilahirkan setelah tahun 1945 – generasi kemerdekaan Indonesia”
|
Dengan
pernyataannya tersebut Soe Hok Gie termasuk orang yang percaya adanya “lapisan
baru” itu. Di dalam penulisannya di penerbit yang sama dia tidak lagi
menggunakan sebutan lapisan baru akan tetapi, dia menggantinya dengan sebutan
“manusia – manusia baru” Indonesia.[4]
Lalu pertanyaannya siapa manusia – manusia baru tersebut, manusia – manusia
baru itu adalah manusia yang dewasa setelah kemerdekaan.
·
Mereka bukan orang yang takjub melihat
kaki langit baru, yang terkagum-kagum kepada Barat model Sutan Takdir
Alisjahbana
·
Mereka bukan “pemuda bambu runcing”
·
Mereka adalah generasi yang dididik
dalam optimisme setelah penyerahan
kedaulatan, dalam mitos – mitos tentang kemerdekaan dan harapan besar terhadap
“kejayaan Indonesia di masa depan”
·
Mereka adalah generasi yang dibius oleh semangat “progesif
revolusioner” modern Soekarno
·
Tetapi terutama generasi inilah yang
mengalami kehancuran cita – cita itu semuanya, demoralisasi dalam segala
bidang, kehancuran kepercayaan kepada generasi-generasi yang terdahulu.[5]
Dari
penjelasan diatas kita dapat mengetahui seberapa besarnya harapan bangsa ini
kepada pemuda – pemuda di Indonesia, agar mereka turut serta guna menjaga
kesejahteraan dan keamanan di Indonesia. Tahun – tahun itulah esensi dari
gerakan pemuda mulai bangkit atas nama seluruh rakyat Indonesia. Di bawah
kepemimpinan Soekarno kala itu, para pemuda berpendapat bahwasannya kalangan
pejuang tua telah mengkhianati apa yang diperjuangkannya. Mereka beranggapan
bahwasannya Soekarno, Hatta, Sjahrir, Ali dan sebagainya telah melupakan esensi
dari perjuangan di kala mereka berada dilapisan muda.
Tuntutan
demi tuntutan bergulir di kala itu, seakan seperti snowball yang malah semakin membesar bila digulirkan. Ramalan akan
runtuhnya rezim Soekarno benar benar tak terduga. Soekarno yang dielu – elukan
sebagai founding fathers bangsa
Indonesia, seakan gentar untuk menghadapi tuntutan pemuda di kala itu.
Demonstrasi tak terbendungkan lagi di kala itu, sebenarnya banyak sekali nama
yang menjadi triger pergerakan tahun 1966an. Tapi nama yang masih melekang
hingga saat ini salah satunya adalah Soe Hok Gie, sebenarnya ia tidak pandai
untuk memimpin sebuah demonstrasi. Dengan kemampuan retorika dan analisis yang
dia miliki, Soe Hok Gie lah yang selalu membuat kajian – kajian kritis serta
strategi guna mengkoreksi proses pemerintahan. Baginya rezim tak terlebih merupakan hanya sebuah phallocracy, yang kelak memuncak dan
dipermakotai oleh tugu Monas sebagai simbol phallus
yang hidup abadi.[6]
Agitasi yang sangat menarik jika kita benar – benar menelaah apa makna dari
suatu rezim yang tumbuh di bangsa Indonesia ini. Puisi pergerakan pemuda tidak
hanya berhenti di tahun 1966, mereka seakan tidak pernah ingin berhenti mencari
model kepemimpinan yang tepat bagi Indonesia.
Setelah
rezim Orde Lama diruntuhkan, secara otomatis melahirkan suatu rezim baru yang
berada di bawah kepemimpinan otoriter Soeharto. Pada saat awal orde ini, mahasiswa
dipercaya sebagai modal utama dari orde baru. Hal ini dikarenakan secara
historis mahasiswa lebih berpihak kepada militer dan mereka juga yang turut
serta dalam melahirkan orde baru. Mereka memainkan peranan
“ekstra-universiter”. Yang terangkum dalam beberapa tanggung jawab. Tanggung
jawab yang pertama dalam belajar, yang kedua dalam aksi-sosio-kebudayaan, dan
yang ketiga sebagai pejuang politik. Arief Budiman sebagai jubir dari gerakan
mahasiswa kala itu menilai, bahwa fungsi yang terakhir mahasiswa dinilai telah
gagal dalam menjalankan tugasnya. Keistimewaan yang diperoleh mahasiswa hanya
bersifat sementara. Seakan tidak terpuaskan oleh kepemimpinan Soekarno di kala
rezim orde lama, mereka melakukan hal yang sama dengan aktor yang berbeda. Pada
era orde baru tersebut, terjadi situasi dimana kecaman mahasiswa atas
kepemimpinan Soeharto yang otoriter tersebut. Adanya dwi fugsi ABRI menuntut
mereka berupaya untuk menghapuskannya, ditambah lagi dengan krisis yang terjadi
di negeri ini. Demonstrasi pun tak terhelakkan, dan tiba pada ujungnya 18 Mei
1998. Mahasiswa-mahasiswa tersebut menuntut lengsernya rezim Soeharto tersebut,
pendudukan gedung kura-kura pun merupakan sejarah besar bagi bangsa ini.
Beberapa mahasiswa terluka dan 12 mahasiswa mati ditambah lagi dengan 1500
rakyat mati. Tapi hal tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah mereka telah
berhasil menjadikan negeri ini dalam rezim yang “baik” dan memperhatikan
seluruh rakyatnya.
Eksistensi
Akibat Mati Suri
Pasca
adanya tuntutan reformasi ‘yang tercapai’, hari ini kita menanyakan bagaimana
kabar gerakan pemuda atau yang biasa kita dengar dengan gerakan mahasiswa.
Apakah masih konsisten mengusung tentang tema kesejahteraan bangsa, atau malah
terjebak oleh suatu budaya konsumerisme. Dengan melihat berbagai fenomena yang
ada, dapat kita katakan bahwasanya gerakan pemuda saat ini telah dinina – bobokan oleh budaya konsumerisme
dan pragmatisme. Dua faktor tersebut seakan – akan menjadi penyebab kematian
pergerakan pemuda di era reformasi. Kebingungan akan quo vadis bangsa ini tidak menghalang mewabahnya dua virus tersebut, mereka seakan tuli dan
buta terhadap tantangan yang dihadapi bangsa saat ini.
Memang
gerakan mahasiswa masih bisa kita saksikan dalam layar televisi kita, seperti
halnya demonstrasi oleh kalangan mahasiswa. Saya pun menilai bahwasannya
demonstrasi yang dilakukan oleh kalangan mahasiswa tersebut hanyalah sebagai
bukti bahwa kami (selaku mahasiswa) tidak ‘benar – benar’ mati, hanya saja kami
ada karena kami membutuhkan eksistensi untuk menjadi ‘mati suri’. Mengapa saya
mengakatan demikian? Saya mengatakan seperti itu dikarenakan saya melihat aksi
yang dilakukan mahasiswa atau kalangan muda saat ini tidak konsisten seperti
gerakan pemuda terdahulu. Mengutip pernyataan dari Soe Hok Gie
“Aku ingin agar
mahasiswa – mahasiswa ini menyadari bahwa mereka adalah the happy selected view, yang dapat kuliah, dan karena itu mereka
harus menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya. Dan kepada
rakyat aku ingin tunjukkan, bahwa mereka dapat mengharapkan perbaikan –
perbaikan dari keadaan dengan menyatukan diri di bawah patriot universitas”.[7]
Seharusnya
mereka sebagai the happy selcted view[8]
dapat lebih memahami apa makna mempertahankan keutuhan dan kesejahteraan rakyat
Indonesia. Keadaan rakyat yang kebingungan akan mengadu kepada siapa jika ia
berhadapan dengan permasalahan yang disebabkan oleh penguasa, menjadi
pemandangan yang biasa di kalangan pemuda saat ini. Bagi pemuda saat ini
pencapaian suatu kejayaan bagi dirinya sendiri merupakan manifestasi utama,
mereka tidak peduli dengan keadaan rakyat di bangsa nya yang telah terkulai tak
berdaya menghadapi keganasan sang penguasa. Ibu pertiwi seakan diperkosa oleh
segerombolan preman biadab yang sama sekali tidak mempertanggung jawabkan
perbuatannya, negara ini seakan terinjak – injak oleh kungkungan modal asing
yang terus menggerogoti kesejahteraan rakyatnya. Tapi akankah hal ini di
tanggapi oleh orang yang bernama the
happy selected view tersebut.
Gerakan
pemuda yang tidak berujung pada sebuah kepastian ini telah tercoreng buruk oleh
pemuda itu sendiri. Manusia – manusia baru Indonesia seakan diam oleh selangkangan
kelompok kepentingan. Pandangan tentang gerakan mahasiswa ini semakin
dieksklusifkan kepada segelintir orang saja, sedangkan menurut khittah yang ada
mahasiswa berjuang untuk rakyat yang tertindas dan mahasiswa merupakan musuh
dari rakyat yang menindas. Ironis memang, tapi apalah daya masyarakat kita ini
yang telah jengah dengan kelompok ekslusif tersebut yang tak pantas
mengatasnamakan kepentingannya merupakan kepentingan rakyat tertindas lagi.
Jargon ‘Hidup Mahasiswa, Hidup Rakyat Indonesia’ semakin berdegradasi artian,
yang awalnya yang diusung dalam jargon ini adalah untuk kepentingan rakyat
tertindas malah berubah menjadi kepentingan rakyat penguasa. Perubahan maindset yang terjadi di kalangan
mahasiswa semata – mata menjadi cikal bakal kecacatan pergerakan pemuda di
bangsa ini.
Bergeser
ke arah khas mahasiswa, kita menyaksikan untuk saat ini para aktivis yang
berasal dari kalangan mahasiswa biasanya memiliki kemampuan agitasi berorasi
yang mumpuni. Tetapi biasanya pula
mereka lebih mengolah soft skill mereka tanpa diimbangi oleh hard skill yang
seharunya mereka sadar bahwasanya mereka (para aktifis mahasiswa) membutuhkan
hard skill guna menyampaikan opini dan solusi atas pertanyaan mereka sendiri. Inilah
yang harus kita ubah, kita sebagai the
happy selected view haruslah mengerti betul apa makna memperjuangkan rakyat
dan menjaga ke idealismean mereka yang tentunya sulit untuk dipertahankan. Saya
percaya hal tersebut masih ada, karena itu marilah kita tanamkan bahwasanya
kita mampu benar – benar menjadi manusia – manusia baru dan the happy selected view guna menjadi
penyambung lidah rakyat (yang tertindas) dan berkontribusi positif yang nyata
bagi kemajuan bangsa Indonesia.
Khatibul
Umam Wiranu, “Sejarah Konsensus Politik Indonesia;Sebuah Kajian Filosofis”,
Saung buku, September 2010:11.
Khatibul
Umam Wiranu, Ibid., 15
Soe Hok
Gie, “Catatan Seorang Demonstran”.
Jakarta:LPES, 1983:5
Soe Hok
Gie, “Generasi yang Lahir Setelah Tahun
Empat Lima”, Kompas, 17 Agustus 1969
Ibid, op.cit, hal 1Soe Hok
Gie, “Catatan Seorang Demonstran”.
Jakarta:LPES, 1983;130
The
Happy Selected View; merupakan kata yang digunakan Soe Hok Gie guna
mengandaikan pemuda saat di jamannya. Kata – kata tersebut terdapat dalam buku
Catatan Seorang Demonstran (Bagian V dari Catatan Harian Soe Hok Gie) yang
diterbitkan oleh LPES; 1983.
