GERAKAN LITERASI PEMUDA POHUWATO

GERAKAN LITERASI PEMUDA POHUWATO
GERAKAN LITERASI PEMUDA POHUWATO

Selasa, 26 Juli 2016

DEGRADASI GERAKAN MAHASISWA


Jika kita memperbincangkan tentang mahasiswa, tak ubahnya kita juga akan menanyakan bagaimana kabar gerakan mahasiswa saat ini. Menilik lebih dalam lagi tentang gerakan mahasiswa, tentunya tidak luput dari perjalanan bangsa yang meraih kemerdekaan dengan semangat pemuda. Seperti halnya organisasi kepemudaan yang hidup di tahun 1915an, dimana di era tersebut organisasi kepemudaan masih membawa unsur kedaerahannya. dr Satiman Wiriosandjojo selaku Ketua Perkumpulan Jong Java yang pertama (1915-1917); Anggota Kehormatan, merupakan salah satu motor pergerakan pemuda di Indonesia. Pergerakan tersebut melahirkan pergerakan pemuda baru yang masih membawa entitas kelompok daerah masing-masing, seperti Jong Bataks Bond, Jong Sumatran Bond, dan lainnya.  Koentjoro Poerbopranoto, dalam artikelnya Korban Jong Java terhadap kepada Tanah Air Kita, Gedenkboek, Jong Java 1915-1930 a.l. menulis:
...........Bintang baroe memantjarkan sinarnya menerangi alam Indonesia. Jong java yang telah lama dikandoeng tanah Timoer yang pada masa itoe moelai sedar, dilahirkan dari fikiran seorang murid Stovia yang bijaksana. Lahirnya semangat moeda ini menimbulkan soeatoe kedjadian jang nanti njata mendjadi motor mengepalai pergerakan pemoeda Indonesia.
Perlahan-lahan menghindarkan bahaja, serta berhati-hati meraba dalam gelap-gelita, moelailah saudara Satiman bersama-sama dengan kawan-kawanya yang telah bangoen poela, melengkahkan kaki menoedjoe hidoep pergerakan jang amat soelit itoe.
Keadaan tersebut seakan menjanjikan gerakan pemuda di Indonesia akan mengalami masa depan yang cerah. Tidak berhenti sampai di sini, embrio pergerakan pemuda seakan tumbuh menjadi janin yang sehat. Pada saat itu, perlahan-lahan mulai muncul beberapa universitas-universitas yang melahirkan mahasiswa-mahasiswa yang dididik sesuai dengan keahliannya. Seperti Technische Hoogschool (THS) yang didirikan di Bandung tahun 1920. Tahun 1924 dibuka Rechtsoogeschool (RHS)  di Jakarta tahun 1927, dan masih banyak lagi. Universitas-universitas tersebut telah menyatukan pemuda-pemuda dari sabang sampai merauke. Para mahasiswa-mahasiswa inilah yang pertama kali mepunyai tekad untuk mempersatukan sekalian penduduk pribumi di kepulauan kita sebagai satu bangsa.
Di mulai dengan peristiwa akbar pada tanggal 28 Oktober 1928, memperlihatkan bahwasanya tindakan pemuda-pemuda ini merupakan suatu lelucon bagi kalangan tua. Saat itu banyak kalangan tua yang beranggapan tidak mungkin menyatukan segenap bangsa ini, apalagi melihat keadaan Indonesia yang memiliki beragam tradisi yang berbeda. Tapi hal ini ditentang oleh kalangan muda, alasan tersebut tidak menghalangi semangat muda mereka demi menyatukan segenap bangsa Indonesia. Sebuah konsensus Sumpah Pemuda itupun menyadarkan, bahwasanya kita segenap bangsa Indonesia haruslah melakukan perlawanan kepada kaum penjajah atau kolonial yang hidup di era tersebut.
Pergerakan nasionalisme tersebut telah menunjukkan lebih teroganisir, dengan asas, tujuan, dan prospek yakni mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Mengutip dari tulisan Khatibul Umam Wiranu bahwasannya nasionalisme yang kuat bersumber pada “kehendak kuat” untuk bersatu. Suatu adagium dari Ernest Renan yang dianut oleh para pemuda modernis kala itu.[2] Perumusan dalam Kongres II, Oktober 1928 telah menyatakan bahwasanya Bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bagi segenap Bangsa Indonesia, hal ini menggambarkan bahwasanya pergerakan pemuda di jaman tersebut benar - benar mengkokohkan sendi - sendi bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku dan budaya.
Salah satu bukti kesepahaman tersebut termaktub dalam tulisan Keith Foulchert bahwsanya, Poernomowoelan seorang panelis perempuan dalam kongres itu membaca makalah yang ditulisnya dalam bahasa Belanda. Kemudian keadaan tersebut memunculkan keinginan untuk membacanya lagi dalam bahasa Indonesia, kemudian para peserta kongres meminta Mohammad Yamin membacanya lagi dalam bahasa Indonesia.[3] Kejadian itulah menjadi triger pergerakan persatuan pemuda Indonesia.
Tidak hanya berhenti sampai di Kongres Sumpah Pemuda, perlehelatan perjuangan bangsa ini seakan tidak pernah luput dari cengkraman pemuda. Tahun 1966 yang merupakan tahun dimana muncul gerakan “DPR Jalanan”, yang kemudian melahirkan Tritura (Tiga Tuntutan Rakayat) yang telah sukses merubah konstelasi kehidupan politik bangsa Indonesia. Hal ini telah menunjukkan gerakan pemuda yang dimotori oleh kalangan mahasiswa masih ada sesuai dengan tujuan awal, yaitu keinginan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Banyak nama yang menjadi dalang pergerakan di tahun 1966, nama-nama tersebut merupakan pemuda yang mengatasnamakan dirinya sebagai manusia-manusia baru. Mengutip dari salah satu pernyataan Soe Hok Gie yang termaktub dalam pengantar redaksi Kompas ;
Tanpa kita sadari di bumi Indonesia kini telah tumbuh suatu lapisan baru, pemuda – pemuda, pemudi – pemudi Indonesia yang dilahirkan setelah tahun 1945 – generasi kemerdekaan Indonesia”

Dengan pernyataannya tersebut Soe Hok Gie termasuk orang yang percaya adanya “lapisan baru” itu. Di dalam penulisannya di penerbit yang sama dia tidak lagi menggunakan sebutan lapisan baru akan tetapi, dia menggantinya dengan sebutan “manusia – manusia baru” Indonesia.[4] Lalu pertanyaannya siapa manusia – manusia baru tersebut, manusia – manusia baru itu adalah manusia yang dewasa setelah kemerdekaan.
·         Mereka bukan orang yang takjub melihat kaki langit baru, yang terkagum-kagum kepada Barat model Sutan Takdir Alisjahbana
·         Mereka bukan “pemuda bambu runcing”
·         Mereka adalah generasi yang dididik dalam optimisme setelah penyerahan kedaulatan, dalam mitos – mitos tentang kemerdekaan dan harapan besar terhadap “kejayaan Indonesia di masa depan”
·         Mereka adalah generasi  yang dibius oleh semangat “progesif revolusioner” modern Soekarno
·         Tetapi terutama generasi inilah yang mengalami kehancuran cita – cita itu semuanya, demoralisasi dalam segala bidang, kehancuran kepercayaan kepada generasi-generasi yang terdahulu.[5]
Dari penjelasan diatas kita dapat mengetahui seberapa besarnya harapan bangsa ini kepada pemuda – pemuda di Indonesia, agar mereka turut serta guna menjaga kesejahteraan dan keamanan di Indonesia. Tahun – tahun itulah esensi dari gerakan pemuda mulai bangkit atas nama seluruh rakyat Indonesia. Di bawah kepemimpinan Soekarno kala itu, para pemuda berpendapat bahwasannya kalangan pejuang tua telah mengkhianati apa yang diperjuangkannya. Mereka beranggapan bahwasannya Soekarno, Hatta, Sjahrir, Ali dan sebagainya telah melupakan esensi dari perjuangan di kala mereka berada dilapisan muda.
Tuntutan demi tuntutan bergulir di kala itu, seakan seperti snowball yang malah semakin membesar bila digulirkan. Ramalan akan runtuhnya rezim Soekarno benar benar tak terduga. Soekarno yang dielu – elukan sebagai founding fathers bangsa Indonesia, seakan gentar untuk menghadapi tuntutan pemuda di kala itu. Demonstrasi tak terbendungkan lagi di kala itu, sebenarnya banyak sekali nama yang menjadi triger pergerakan tahun 1966an. Tapi nama yang masih melekang hingga saat ini salah satunya adalah Soe Hok Gie, sebenarnya ia tidak pandai untuk memimpin sebuah demonstrasi. Dengan kemampuan retorika dan analisis yang dia miliki, Soe Hok Gie lah yang selalu membuat kajian – kajian kritis serta strategi guna mengkoreksi proses pemerintahan. Baginya  rezim tak terlebih merupakan hanya sebuah phallocracy, yang kelak memuncak dan dipermakotai oleh tugu Monas sebagai simbol phallus yang hidup abadi.[6] Agitasi yang sangat menarik jika kita benar – benar menelaah apa makna dari suatu rezim yang tumbuh di bangsa Indonesia ini. Puisi pergerakan pemuda tidak hanya berhenti di tahun 1966, mereka seakan tidak pernah ingin berhenti mencari model kepemimpinan yang tepat bagi Indonesia.
Setelah rezim Orde Lama diruntuhkan, secara otomatis melahirkan suatu rezim baru yang berada di bawah kepemimpinan otoriter Soeharto. Pada saat awal orde ini, mahasiswa dipercaya sebagai modal utama dari orde baru. Hal ini dikarenakan secara historis mahasiswa lebih berpihak kepada militer dan mereka juga yang turut serta dalam melahirkan orde baru. Mereka memainkan peranan “ekstra-universiter”. Yang terangkum dalam beberapa tanggung jawab. Tanggung jawab yang pertama dalam belajar, yang kedua dalam aksi-sosio-kebudayaan, dan yang ketiga sebagai pejuang politik. Arief Budiman sebagai jubir dari gerakan mahasiswa kala itu menilai, bahwa fungsi yang terakhir mahasiswa dinilai telah gagal dalam menjalankan tugasnya. Keistimewaan yang diperoleh mahasiswa hanya bersifat sementara. Seakan tidak terpuaskan oleh kepemimpinan Soekarno di kala rezim orde lama, mereka melakukan hal yang sama dengan aktor yang berbeda. Pada era orde baru tersebut, terjadi situasi dimana kecaman mahasiswa atas kepemimpinan Soeharto yang otoriter tersebut. Adanya dwi fugsi ABRI menuntut mereka berupaya untuk menghapuskannya, ditambah lagi dengan krisis yang terjadi di negeri ini. Demonstrasi pun tak terhelakkan, dan tiba pada ujungnya 18 Mei 1998. Mahasiswa-mahasiswa tersebut menuntut lengsernya rezim Soeharto tersebut, pendudukan gedung kura-kura pun merupakan sejarah besar bagi bangsa ini. Beberapa mahasiswa terluka dan 12 mahasiswa mati ditambah lagi dengan 1500 rakyat mati. Tapi hal tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah mereka telah berhasil menjadikan negeri ini dalam rezim yang “baik” dan memperhatikan seluruh rakyatnya.
Eksistensi Akibat Mati Suri
Pasca adanya tuntutan reformasi ‘yang tercapai’, hari ini kita menanyakan bagaimana kabar gerakan pemuda atau yang biasa kita dengar dengan gerakan mahasiswa. Apakah masih konsisten mengusung tentang tema kesejahteraan bangsa, atau malah terjebak oleh suatu budaya konsumerisme. Dengan melihat berbagai fenomena yang ada, dapat kita katakan bahwasanya gerakan pemuda saat ini telah dinina – bobokan oleh budaya konsumerisme dan pragmatisme. Dua faktor tersebut seakan – akan menjadi penyebab kematian pergerakan pemuda di era reformasi. Kebingungan akan quo vadis bangsa ini tidak menghalang mewabahnya dua virus tersebut, mereka seakan tuli dan buta terhadap tantangan yang dihadapi bangsa saat ini.
Memang gerakan mahasiswa masih bisa kita saksikan dalam layar televisi kita, seperti halnya demonstrasi oleh kalangan mahasiswa. Saya pun menilai bahwasannya demonstrasi yang dilakukan oleh kalangan mahasiswa tersebut hanyalah sebagai bukti bahwa kami (selaku mahasiswa) tidak ‘benar – benar’ mati, hanya saja kami ada karena kami membutuhkan eksistensi untuk menjadi ‘mati suri’. Mengapa saya mengakatan demikian? Saya mengatakan seperti itu dikarenakan saya melihat aksi yang dilakukan mahasiswa atau kalangan muda saat ini tidak konsisten seperti gerakan pemuda terdahulu. Mengutip pernyataan dari Soe Hok Gie
“Aku ingin agar mahasiswa – mahasiswa ini menyadari bahwa mereka adalah the happy selected view, yang dapat kuliah, dan karena itu mereka harus menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya. Dan kepada rakyat aku ingin tunjukkan, bahwa mereka dapat mengharapkan perbaikan – perbaikan dari keadaan dengan menyatukan diri di bawah patriot universitas”.[7]
Seharusnya mereka sebagai the happy selcted view[8] dapat lebih memahami apa makna mempertahankan keutuhan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Keadaan rakyat yang kebingungan akan mengadu kepada siapa jika ia berhadapan dengan permasalahan yang disebabkan oleh penguasa, menjadi pemandangan yang biasa di kalangan pemuda saat ini. Bagi pemuda saat ini pencapaian suatu kejayaan bagi dirinya sendiri merupakan manifestasi utama, mereka tidak peduli dengan keadaan rakyat di bangsa nya yang telah terkulai tak berdaya menghadapi keganasan sang penguasa. Ibu pertiwi seakan diperkosa oleh segerombolan preman biadab yang sama sekali tidak mempertanggung jawabkan perbuatannya, negara ini seakan terinjak – injak oleh kungkungan modal asing yang terus menggerogoti kesejahteraan rakyatnya. Tapi akankah hal ini di tanggapi oleh orang yang bernama the happy selected view tersebut.
Gerakan pemuda yang tidak berujung pada sebuah kepastian ini telah tercoreng buruk oleh pemuda itu sendiri. Manusia – manusia baru Indonesia seakan diam oleh selangkangan kelompok kepentingan. Pandangan tentang gerakan mahasiswa ini semakin dieksklusifkan kepada segelintir orang saja, sedangkan menurut khittah yang ada mahasiswa berjuang untuk rakyat yang tertindas dan mahasiswa merupakan musuh dari rakyat yang menindas. Ironis memang, tapi apalah daya masyarakat kita ini yang telah jengah dengan kelompok ekslusif tersebut yang tak pantas mengatasnamakan kepentingannya merupakan kepentingan rakyat tertindas lagi. Jargon ‘Hidup Mahasiswa, Hidup Rakyat Indonesia’ semakin berdegradasi artian, yang awalnya yang diusung dalam jargon ini adalah untuk kepentingan rakyat tertindas malah berubah menjadi kepentingan rakyat penguasa. Perubahan maindset yang terjadi di kalangan mahasiswa semata – mata menjadi cikal bakal kecacatan pergerakan pemuda di bangsa ini.
Bergeser ke arah khas mahasiswa, kita menyaksikan untuk saat ini para aktivis yang berasal dari kalangan mahasiswa biasanya memiliki kemampuan agitasi berorasi yang mumpuni. Tetapi biasanya pula mereka lebih mengolah soft skill mereka tanpa diimbangi oleh hard skill yang seharunya mereka sadar bahwasanya mereka (para aktifis mahasiswa) membutuhkan hard skill guna menyampaikan opini dan solusi atas pertanyaan mereka sendiri. Inilah yang harus kita ubah, kita sebagai the happy selected view haruslah mengerti betul apa makna memperjuangkan rakyat dan menjaga ke idealismean mereka yang tentunya sulit untuk dipertahankan. Saya percaya hal tersebut masih ada, karena itu marilah kita tanamkan bahwasanya kita mampu benar – benar menjadi manusia – manusia baru dan the happy selected view guna menjadi penyambung lidah rakyat (yang tertindas) dan berkontribusi positif yang nyata bagi kemajuan bangsa Indonesia.


Khatibul Umam Wiranu, “Sejarah Konsensus Politik Indonesia;Sebuah Kajian Filosofis”, Saung buku, September 2010:11.
Khatibul Umam Wiranu, Ibid., 15
Soe Hok Gie, “Catatan Seorang Demonstran”. Jakarta:LPES, 1983:5
Soe Hok Gie, “Generasi yang Lahir Setelah Tahun Empat Lima”, Kompas, 17 Agustus 1969
Ibid, op.cit, hal 1Soe Hok Gie, “Catatan Seorang Demonstran”. Jakarta:LPES, 1983;130
The Happy Selected View; merupakan kata yang digunakan Soe Hok Gie guna mengandaikan pemuda saat di jamannya. Kata – kata tersebut terdapat dalam buku Catatan Seorang Demonstran (Bagian V dari Catatan Harian Soe Hok Gie) yang diterbitkan oleh LPES; 1983.


Gerakan Mahasiswa Hari Ini yang Mati Suri

SENDIRI MEMBACA, BERDUA DISKUSI, BERTIGA ATUR STRATEGI, DAN SELEBIHNYA AKSI...............!!!
AWALNYA TERPAKSA, KEMUDIAN TERBIASA, DAN AKHIRNYA BISA DALAM MENGUKIIR CITA-CITA.....
LOGIKA FALASI ITUKAN HAL BIASA DALAM TAHAP BELAJAR......TAPI KALAU TERUS-TERUSAN  ITU NAMANYA OTAK KETUK...
AJARI AKU MENYADARI, AJARI AKU MEMAHAMI AJARI AKU MENCINTAI, , DAN AJARI AKU UNTUK MEMILIKI....
BUKANKAH SEGALA PERSOALAN ITU BISA DISELESAIKAN.....?
Meneropong Pola Gerakan Mahasiswa Hari Ini yang Mati Suri
Oleh : Aidil Fitri

Arti Mahasiswa.
Mahasiswa secara kebahasaaan berasal dari dua kata yaitu MAHA dan SISWA. Maha yang memiliki makana yang begitu mendalam disematkan kepada orang yang belajar ditingkat perguruan tinggi yaitu mahasiswa. Kalau kita analisa dari kata “ Maha” yang menurut kamus besar bahasa indonisia memiliki aerti; paling, ter, amat, dan sebagainya. Sedangkan kata “ Siswa” adalah orang yang belajar di suatu institusi. kalau kita simpulkan dari analisis kata “ Mahasiswa”  itu adalah orang yang paling banyak belajar.

Dari arti mahasiswa itu sendiri adalah orang yang banyak belajar maka kemudian mahasiswa itu dianggap orang yang tau tentang banyak hal. Akan tetapi apa benar Mahasiswa hari ini adalah orang yang banyak belajar ?. Masih sering kita jumpai mahasiswa yang kuliah pulang-kuliah pulang. Dan paling ironisnya ada juga mahasiswa yang kita jumpai jarang kuliah justru banyak meluangkan waktunya untuk hura-hura(hedonisme).
Terlepas dari asumsi itu, mari kita analisa kembali mengenai mahasiswa hari ini. kalau kita menyepakati bahwa mahasiswa secara kebahasaan merupakan orang yang terpelajar maka konsekkuensi logisnya adalah orang yang memiliki kapabilitas lebih dari yang bukan mahasiswa. Artinya mahasiswa itu adalah orang yang dianggap mampu memahami situasi dan kondisi serta tau apa yang harus dilakukan. Akan tetapi persoalannya kemudian benarkah mahasiswa hari ini  adalah orang-orang yang tanggap, kritis, dan cepat bertindak ?. Kalau mahasiswa itu tidak termasuk orang yang demikian maka gugur persepsi yang kita bangun bahwa mahasiswa adalah oarang yang terpelajar.

Peran Mahasiswa.
a. Agent of Change
       Disematkan kepada mahasiswa  oleh kelompok masyarakat sebagai Agent of Change karena mahasiswa dengan modal akademis, skil, kecerdasan dan wawasan yang luas diharapkan mampu membuat suatu perubahan baik secara edukasi maupun ekonomi kearah yang lebih baik.
                Terbukti bahwa faktor pendidikan berpengaruh besar terhadap peradaban. Kalau kita bandingkan negara Indonesia dengan negara-negara eropa sangat jauh berbeda peradaban kehidupan disana. Padahal kalau ditinjau dari Sumber Daya Alamnya sengat melimpah ruah kekayaan alam Indonesia ini.
Betapa besarnya kekayaan Indonesia. Kekayaan laut dengan trumbu karang serta ikan-ikannya, kekayaan darat dengan hutan yang banyak pepohonan beraneka ragam, sawah-sawah yang begitu subur untuk lahan pertanian, gunung mas, serta MIGAS yang terdapat di darat dan di laut. Tetapi realitanya mahasiswa masih buta akan hal itu.
                Rakyat Indonesia kini hidup miskin di negara yang kaya-raya dan kelaparan dilumbung pangan. Kenapa bisa terjadi demikian, karna rakyat Indonisia tidak mampu memutus garis kebodohan. Dimana peran mahasiswa sebagai Agent of Change, yang memiliki modal akademis, skil, kecerdasan, dan wawasan yang luas?. Kenapa mahasiswa membiarkan kekayaan Indonesia dikelola orang lain, diisap, digrogoti, dan diangkut kenegara lain yang tidak memberikan sumbangsi terhadap rakyat Indonesia. Tidakkah kita sadari hal itu, dimana edialiseme kita sebagai mahasiswa, dan dimana tanggung jawab mahasiswa sebagai Agent of Change ?

b. Agent of Control
Begitu mulianya mahasiswa yang  gelar sebagai Agent of Chontrol yang dipercai masyarakat untuk mengkontrol tatanan hidup berbangsa dan bernegara demi terciptanya masyarakat adil dan makmur. Lalu kenapa ketimpangan sosial masih terus terjadi di Bumi Persada ini ?. Dimana keadilan dibangsa ini hanya diukur dengan materi serta dengan kemampuan berwacana tentang hukum beserta pasal-pasalnya yang kemudian seolah-olah menjadi kebenaran hakiki yang tidak terbantahkan.
               
Degradasi Gerakan Mahasiswa
Sebagai kekuatan besar, gerakan mahasiswa masih memiliki legitimasi moral dari masyarakat. Namun, walau harapan tinggi dari masyarakat masih dibebankan ke pundak mahasiswa, saat ini gerakan mahasiswa cenderung menurun. Mahasiswa seakan-akan tak memiliki progresivitas dan sensitivitas dalam menanggapi berbagai persoalan real bangsa ini.
Itu sangat tampak jika kita melihat ruang-ruang diskusi mahasiswa yang tak lagi diramaikan pembicaraan tentang problematika umat. Jika dahulu keterbatasan media malah membuat para aktivis kampus makin kreatif dan kritis, saat ini berbanding terbalik. Banyak gerakan mahasiswa terjebak berbagai kepentingan pribadi dan golongan. Itulah mahasiswa hari ini, mereka mendahulukan egonya demi menjaga eksistensi organisasinya. Mereka mengagung-agungkan simbol kebesaran organisasi masing-masing dan sibuk memperdebatkan perbedaan idiologi sehingga lupa dengan tugas-tugas sebagai mahasiswa. Mahasiswa hari ini hanya jago kandang tak ubahnya katak dalam tempurung hanya bisa berkoar-koar dibelakang layar namun tidak berani tampil kedepan untuk menjadi sebagai pelopor perubahan.
Selain itu, era globalisasi dengan teknologi yang makin canggih dan membuat dunia makin kecil justru makin mengerdilkan jiwa para aktivis pergerakan mahasiswa. Suara keberanian dan kejujuran mahasiswa yang semula nyaring terdengar, kini seakan-akan hilang bagai ditelan bumi. Nilai tawar mahasiswa yang semula senantiasa menjadi kebanggaan, kini tak lagi ada.
Idealisme sebagai prinsip dasar gerakan mahasiswa seolah-olah tertawan di ruang perkuliahan yang sangat mengekang. Sifat kritis sebagai senjata utama mahasiswa dalam mengupas berbagai isu dan persoalan bangsa, menanggapi berbagai kebijakan pemerintah, serta memperjuangkan aspirasi rakyat menumpul dan berkarat. Semua itu menjadi faktor penyebab degradasi gerakan mahasiswa.
Akibatnya, gerakan mahasiswa yang dulu lebih mengedepankan kepentingan rakyat kecil, saat ini hanya berperan sebatas lingkup  kampus. Tak pelak, yang tampak adalah gerakan mahasiswa mati suri.

Refleksi Sejarah Gerakan Mahasiswa
Harus kita akui peran mahasiswa sangat penting dalam perjalananan panjang sejarah perjuangan bangsa Indonesia dari masa ke masa. Gerakan mahasiswa telah membuktikan apa yang mereka lakukan mampu menumbangkan segala bentuk otoritarianisme penguasa terhadap rakyat. Gerakan mahasiswa merupakan bentuk perjuangan nyata kaum intelektual berdasar tanggung jawab moral sosial mereka kepada rakyat.
Karena itulah degradasi gerakan mahasiswa saat ini harus menjadi perhatian bersama serta disikapi secara arif dan bijaksana. Perlu dicari akar permasalahan untuk dibuatkan satu solusi cerdas guna membangun kembali semangat gerakan mahasiswa yang mati suri. Karena, idealnya mahasiswa merupakan golongan intelektual yang memiliki semangat berjuang tinggi.
Kembali melakukan refleksi sejarah merupakan salah satu cara untuk mengembalikan semangat gerakan mahasiswa. Sebab, sejarah telah mencatat gerakan mahasiswa dengan idealisme para aktivisnya telah menumbangkan kediktatoran Soekarno dan menggulingkan rezim otoriter Soeharto.
Refleksi sejarah perjuangan mahasiswa pada zaman dahulu diharapkan memberikan motivasi serta menyadarkan kembali mahasiswa sekarang betapa penting gerakan mahasiswa. Sejarah dapat berperan penting untuk menumbuhkan kembali semangat perjuangan. Ditambah dengan keberhasilan mahasiswa dahulu yang bisa memantik keberanian mahasiswa sekarang untuk mengukir sejarah baru.
Tak kalah penting untuk menghidupkan kembali gerakan mahasiswa, harus ada dukungan dari berbagai pihak. Salah satu dukungan dari internal kampus; rektorat dapat membuat kebijakan yang mendukung serta mempermudah pertumbuhan gerakan mahasiswa. Bukan sebaliknya, kebijakan diciptakan untuk menghambat atau mematikan mahasiswa dan gerakan mahasiswa.
Peran serta dukungan masyarakat pun menjadi kunci keberhasilan untuk menyemai kembali pertumbuhan gerakan mahasiswa yang mati suri. Tanpa dukungan masyarakat, tidak mungkin mahasiswa dan gerakan mahasiswa bisa eksis dan aktif. Sebab, gerakan mahasiswa pada dasarnya merupakan gerakan untuk masyarakat, bangsa, dan negara.
Mari kita lepas bendera masing-masing serta almamater kebesaran kampus kita, kita jangan bicara HMI, PMII, KAMMI, IMM, GMNI, dan Organ-organ apapun. Mari kita bersatu padu dibawah bendera kebesaran Aliansi Mahasiswa dengan mengucapkan Sumpah Mahasiswa Indonesia secara bersama-sama serta menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Baru kemudian kita membuat perubahan secara bersama-sama pula.
Maksud saya diatas bukan berarti kemudian mengajak kawan-kawan mahasiswa untuk melenceng dari mekanisme berorganisasi. Kita sepakati bahwa kita diikat oleh organ yang berbeda. Kita sama-sama memiliki konstitusi AD/ART dan independensi  masing-masing. Akan tetapi maksud saya disini taklain adalah bagaimana kita untuk selalu ikut andil dalam menjaga stabilitas NKRI serta mewujudkan masyarakat adil makmur, menciptakan peradaban baru untuk Indonesia. Mari kita wujudkan cita-cita bangsa Indonesia ini melalui gerakan mahasiswa yang terkonsolidasi, proggresif, dinamis dengan melalui agenda kajian-kajian ilmiah/diskusi rutin di organisasi kita masing-masing lalu kemudiann implementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Terlepas dari itu saya kembalikan kepada kesadaran kawan-kawan mahasiswa masing-masing. Tapi ingat bangsa ini bukan dalam keadaan baik-baik. Jangan ternina bobokkan oleh keadaan, mari kita segera berbuat untuk menyelamatkan bangsa ini.