Oleh: Rizki
Amelia Kurniadewi
Berdasarkan
tujuannya, media massa dapat dibagi menjadi dua, yaitu government oriented
dan profit oriented. Media massa pemerintah lebih sering dijadikan
corong penguasa pada masa Orde Baru. Sedangkan pengaruh media massa komersial
merupakan tonggak penting dalam sejarah komunikasi, karena lebih menegaskan
perannya dalam pelayanan masyarakat dan bukan sebagai terompet penguasa.
Suatu media
dapat dikategorikan sebagai media massa komersial berdasarkan atas dua alasan,
yaitu (1) sistem kerjanya sebagai badan usaha pencari keuntungan diwarnai oleh
sikap monopolistis, dan (2) ketergantungan yang sangat besar pada pemasukan
yang bersumber dari iklan. Tujuan komersial ini secara tidak langsung dapat
berpengaruh besar terhadap isi media massa yang lebih mengutamakan dunia usaha,
konsumerisme, serta persaingan bebas.
Media
bukanlah ranah netral yang menyamakan berbagai kepentingan dan pemaknaan dari
berbagai kelompok. Media justru menjadi subjek yang mengonstruksi realitas
berdasarkan penafsiran dan definisinya sendiri untuk disebarkan kepada
khalayak. Media berperan dalam mendefinisikan realitas. Wartawan menulis berita
bukan hanya sebagai penjelas, tetapi mengonstruksi peristiwa dari dirinya
sendiri dengan realitas yang diamati. Berita adalah konstruksi sosial yang
melibatkan berbagai relasi kepentingan yang berlangsung dalam ruang
pemberitaan.
Dalam
memproduksi informasinya, media memiliki perbedaan. Pamela J. Shoemaker dan
Stephen D. Reese, meringkas berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan
keputusan dalam ruang pemberitaan. Diantaranya ada lima faktor yang
mempengaruhi kebijakan redaksi:
1. Faktor
Individual, berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media.
Faktor ini meliputi jenis kelamin, umur, dan agama. Menurut pendekatan individual,
aspek personalitas dari wartawan dapat mempengaruhi pemberitaan.
2. Faktor
rutinitas media (media routine), berhubungan dengan mekanisme dan proses
penentuan berita. Faktor ini meliputi bagaimana pendelegasian tugas, melalui
proses dan tangan siapa saja sebuah tulisan sebelum sampai ke proses cetak,
siapa penulisnya, siapa editor, dan sebagainya. Rutinitas media berisi
mekanisme bagaimana berita diproduksi, sehingga mempengaruhi bagaimana wujud
akhir sebuah berita.
3. Faktor
organisasi, berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik
mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang tunggal yang
ada dalam organisasi berita, sebaliknya ia hanyalah sebagian kecil dari
organisasi media itu sendiri. Masing-masing komponen dalam organisasi media
bisa mempunyai kepentingan sendiri-sendiri dan tidak selalu sejalan. Mereka
mempunyai tujuan dan target sendiri-sendiri sekaligus strategi yang berbeda
untuk mewujudkan target tersebut.
4. Faktor
ekstramedia, berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Ada beberapa
faktor yang termasuk dalam lingkungan di luar media, yaitu:
a) Sumber
berita, yang dipandang bukanlah sebagai pihak netral yang memberikan informasi
apa adanya. Sumber berita juga mempunyai kepentingan untuk mempengaruhi media
dengan alasan: memenangkan opini publik, memberi citra tertentu pada khalayak,
dan seterusnya. Kepentingan sumber berita ini sering tidak disadari oleh media,
sehingga secara tidak sadar media telah menjadi corong dari sumber berita untuk
menyampaikan apa yang dirasakan oleh sumber berita tersebut.
b) Sumber
penghasilan, bisa berupa iklan, pelanggan atau pembeli media. Untuk bertahan
hidup kadangkala media harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi
mereka. Pihak pengiklan mempunyai strategi untuk memaksakan versinya pada
media. Demikian pula pelanggan juga ikut mewarnai pemberitaan media. Maka tidak
heran jika tema tertentu yang menarik dan terbukti mendongkrak penjualan, akan
terus-menerus diliput oleh media.
c) Pihak
eksternal seperti pemerintah dan lingkungan bisnis. Dalam negara otoriter,
pengaruh pemerintah menjadi faktor yang dominan dalam menentukan berita yang
disajikan. Sedangkan dalam negara yang demokratis dan menganut liberalisme,
tidak ada campur tangan dari negara. Namun justru pengaruh yang besar terletak
pada lingkungan pasar dan bisnis.
5. Faktor
ideologi, yaitu kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai
oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Faktor
ideologi ini bersifat abstrak. Ia berhubungan dengan konsepsi atau posisi
seseorang dalam menafsirkan realitas.
Dari
unsur-unsur “hierarchy of influence” tersebut di atas, menunjukkan bahwa
ada banyak faktor yang mempengaruhi media dalam penyampaian berita, sehingga
realitas yang dikemukakan oleh media tidak selalu objektif. Wartawan akan
memilih apa-apa yang akan dimasukkan dalam berita dan apa-apa yang tidak.
Apapun pilihan wartawan, hasilnya akan membentuk cara khalayak memandang
realitas. Pembingkaian berita merupakan pemilihan aspek dari realitas untuk
ditekankan dalam pesan media, dan karenanya akan mempengaruhi atau membentuk
cara khalayak dalam membentuk realitas.
Media Massa
dalam Cengkeraman Kapitalisme
Dalam
mengonstruksi realitas, ada dua peran yang dimainkan oleh media. Pertama, media
adalah sumber dari kekuasaan hegemonik, di mana kesadaran khalayak dikuasai.
Kedua, media juga dapat menjadi sumber legitimasi, di mana melalui media
orang-orang yang berkuasa dapat memupuk kekuasaannya agar tampak absah dan
benar. Proses ini melibatkan usaha pemaknaan yang terus-menerus yang
diantaranya dilakukan melalui pemberitaan, sehingga khalayak tanpa sadar
terbentuk kesadarannya tanpa paksa. Ideologi dan kepentingan pemilik modal
turut menentukan praktik jurnalistik di ruang redaksi. Maka, hubungan politik
ekonomi media juga akan mempengaruhi berita yang disajikan.
Dalam
pendekatan politik ekonomi, akan diketahui kekuatan kelas kapitalis yang
menguasai pencitraan media massa. Kelompok pemilik media menyuguhkan pilihan
informasi kepada masyarakat dengan tujuan agar publik semakin mudah menangkap
pesan media dan ikut dalam arus wacana yang disampaikan media massa. Media
massa mampu merepresentasikan diri sebagai ruang publik yang utama dan turut
menentukan dinamika sosial, politik, dan budaya, di tingkat lokal maupun
global. Media juga menjadi medium pengiklanan utama yang secara signifikan
mampu meningkatkan penjualan produk barang dan jasa. Media massa mampu
menghasilkan surplus ekonomi dengan menjalankan peran penghubung antara dunia
produksi dan konsumsi.
Beragam
kemampuan inilah yang mendorong para pemilik modal (kapitalis) untuk menguasai
media massa karena menjanjikan ladang baru bagi sumber kehidupan ekonomi
mereka. Bahkan, media massa juga mampu menyebarkan dan memperkuat struktur
politik ekonomi tertentu. Peter Golding dan Graham Murdoc sebagaimana dikutip
Agus Sudibyo menyebut, media tidak hanya mempunyai fungsi sosial dan ekonomi,
tetapi juga menjalankan fungsi ideologis.
Munculnya
industri media yang dibangun atas dasar kepentingan ekonomi para kapitalis,
tidak lepas dari sudut pandang ideologi para pemiliknya. Hal ini akan
menyebabkan corak dan karakter media sebenarnya adalah implementasi dari
kepribadian sang penguasa media itu. Maka, kekuatan ideologi pemilik media massa,
disadari atau tidak, akan mempengaruhi garis pencitraan berita di media massa
tersebut.
Sebagai
contoh misalnya, Harry Tanoesoedibyo melalui korporasi bisnisnya MNC memiliki
RCTI, MNCTV, Global TV, Radio Trijaya, Koran Seputar Indonesia (Sindo),
Jaringan TV Satelit Indovision, dan berita internet okezone.com. Abu
Rizal Bakrie melalui PT Bakrie Brothers (Grup Bakrie) membawahi ANTV yang kini
berbagi saham dengan STAR TV, TVOne yang sebelumnya bernama Lativi, dan viva.co.id.
Chairul Tanjung melalui PT Trans Corporation (Grup Para) membawahi Trans TV,
Trans7, dan situs detik.com. Jacoeb Oetama melalui Gramedia Grup
memiliki Harian Kompas, kompas.com dan Kompas TV. Surya Paloh melalui
Media Grup membawahi Metro TV dan Harian Media Indonesia. Serta Dahlan Iskan
yang menguasai Grup Jawa Pos.
Berbagai
bisnis media tersebut mampu mempengaruhi persepsi publik tentang berbagai
kejadian di tanah air. Hampir-hampir apa yang dikatakan oleh media massa
tersebut adalah sebuah kebenaran. Dalam perspektif kapitalis, kekuatan borjuis
telah berhasil menguasai media massa yang mampu mendesain informasi sebagai
komoditas yang menguntungkan. Akibatnya, media massa berkembang menjadi
industri yang berorientasi pada kepentingan pasar dan keuntungan pemilik modal.
Efendi
Gazali, Direktur Salemba School Institute for Media and Campaign Literacy,
mengungkapkan setidaknya ada lima kebohongan yang bisa dilakukan oleh media.
1.
Membesar-besarkan atau mengecil-kecilkan data. Peristiwa memang ada, hanya saja
disajikan lebih besar, lebih dramastis, atau lebih kecil, atau dianggap tidak
terlalu penting untuk diberitakan secara detail. Misalnya, media kerap
tertangkap basah mendramalisir berita penggerebekan terorisme ataupun aksi dari
kelompok yang dilabeli dengan sebutan Islam radikal, seperti yang pernah
terjadi di TVOne.
2.
Memberitakan yang tidak pernah ada. Misalnya, isu tentang senjata pemusnah
massal milik Saddam Husein yang sejatinya hanyalah karangan Bush dengan bantuan
kaki tangan media yang mendukungnya.
3. Tidak
memberitakan kejadian yang memang terjadi dan sebenarnya jika disajikan akan
bermanfaat bagi publik. Wartawan lebih memilih bad news untuk disajikan
kepada publik. Misal, selama ini media hanya memberitakan kekerasan yang
dilakukan oleh kelompok FPI, tanpa mengimbangi dengan penjelasan tentang fakta
yang sebenarnya terjadi bahwa FPI sudah mengirimkan surat resmi kepada
kepolisian.
4.
Membohongi agenda publik dengan sengaja. Media membombardir kita dengan
berbagai berita yang kemudian memaksa kita untuk mengakui agenda media itu
sebagai hal-hal penting yang harus mendapatkan perhatian. Misalnya, isu
kenaikan BBM dibarengi dengan berita terorisme yang masif, sehingga publik
menjadi lebih tersibukkan pada isu terorisme dibandingkan isu kenaikan BBM.
5.
Membohongi publik dengan menekankan berkali-kali bahwa mereka (media)
tidak sedang membohongi Anda. Media akan mewawancarai atau meminta para
kolumnis atau pengamat berbicara di halaman serta layar mereka guna melengkapi
keyakinan publik bahwa media tidak sedang berbohong. Bahkan, pada cara paling
canggih dibuatlah sebuah panggung penuh seru, penuh dengan adu pendapat, tetapi
pada ujungnya opini yang mengokohkan sikap suatu media terlihat jelas lebih
rasional dan perlu didukung.
Kekuatan
Media Massa dalam Membentuk Opini Umum
“Apa yang
dikatakan pers hampir selalu dipercaya oleh publik. Begitu hebatnya pers,
sehingga seandainya siang dikatakan pers malam pun, masyarakat (terutama yang
lugu) akan mempercayainya.” (KH. Mustofa Bisri)
Stuart Hall
berpendapat bahwa media massa merupakan sarana paling penting dari kapitalisme
abad ke-20 untuk memelihara hegemoni ideologis. Media massa juga menyediakan
kerangka berpikir bagi berkembangnya budaya massa melalui usaha kelompok
dominan yang terus-menerus berusaha mempertahankan, melembagakan, melestarikan
kepenguasaan demi menggerogoti, melemahkan, dan meniadakan potensi tandingan
dari pihak-pihak yang dikuasai.
Guru Besar
Ilmu Komunikasi dari Universitas Indonesia, Harsono Suwardi, menjelaskan empat
faktor yang membuat media massa memiliki pengaruh yang begitu kuat dalam
kehidupan politik.
1. Media
massa memiliki daya jangkau yang luas dalam menyebarkan informasi politik,
bahkan mampu melewati batas wilayah, kelompok umur, jenis kelamin, dan status
sosial-ekonomi. Dengan demikian, status politik yang dimediasikan akan menjadi
perhatian bersama di berbagai tempat dan kalangan.
2. Media
massa memiliki kemampuan untuk melipatgandakan pesan yang begitu mengagumkan.
Dilipatgandakan atau tidaknya pesan memiliki korelasi yang begitu erat dengan
respons masyarakat terhadap isu tersebut. Apabila responnya positif,
kecenderungan media massa akan melipatgandakan isu tersebut. Dampak
pelipatgandaan ini tentu sangat besar di tengah masyarakat.
3. Setiap
media dapat mewacanakan sebuah peristiwa politik sesuai pandangannya
masing-masing. Media massa memiliki kebijakan redaksional terkait isi peristiwa
politik yang ingin disampaikan. Kebijakan ini membuat media banyak diincar oleh
pihak-pihak yang ingin memanfaatkannya, begitu juga sebaliknya.
4. Media
massa memiliki fungsi agenda setting. Media massa memiliki hak untuk
menyiarkan suatu peristiwa atau tidak menyiarkannya. Sehingga media massa mampu
menggiring opini publik dalam suatu diskusi. Output dari diskusi inilah yang
akan menentukan agenda-agenda dalam politik pemerintahan.
5.
Pemberitaan peristiwa oleh suatu media kecenderungannya akan berkaitan dengan
media lainnya, sehingga terbentuk suatu rantai informasi yang menambah kekuatan
media massa dalam menyebarkan informasi politik dan mampu memperbesar dampak
yang diberikan kepada publik.
Peran opini
publik terhadap pola pikir, pola sikap, dan perilaku masyarakat tidak ada yang
meragukan. Seharusnya, kaum Muslim menjadi kelompok yang menyadari hal ini dan
secara aktif melakukan penggalangan opini yang sehat dan tidak menyesatkan.
Untuk
menyikapi opini umum yang dilancarkan media sekuler, maka umat Islam perlu
melakukan dua hal, (1) melakukan konter balik terhadap berbagai isu dengan
memberikan penjelasan secara serius dan sungguh-sungguh, (2) upaya yang
dilakukan hendaknya tidak terbatas pada upaya konter balik, atau hanya sekedar
respon terhadap isu yang muncul, namun perlu upaya untuk membentuk ‘opini
tandingan’ atau ‘opini alternatif’ agar massa yang merupakan ‘pemilik
sebenarnya’ dari media itu mempunyai alternatif penjelasan terhadap situasi
yang terjadi.
Media Massa
dalam Naungan Negara Khilafah
Media massa
(wasâ’il al-i’lâm) bagi negara khilafah dan kepentingan dakwah Islam
mempunyai fungsi strategis, yaitu melayani ideologi Islam (khidmat al-mabda’
al-islâmi) baik di dalam maupun di luar negeri. Di dalam negeri, media
massa berfungsi untuk membangun masyarakat Islami yang kokoh. Di luar negeri,
ia berfungsi untuk menyebarkan Islam, baik dalam suasana perang maupun damai,
untuk menunjukkan keagungan ideologi Islam sekaligus membongkar kebobrokan
ideologi kufur buatan manusia.
Febrianti
Abassuni, dalam seminar tentang sistem pers di Indonesia yang berlangsung
di University Center UGM, menyatakan bahwa dalam sistem pers negara khilafah,
lembaga penerangan negara berfungsi sebagai lembaga nonprofit, wadah
sosialisasi kebijakan negara, edukator warga negara, dakwah Islam ke luar
negeri hingga propaganda politik ke luar negeri. Sedangkan lembaga pers swasta
berfungsi sebagai penyebar informasi, pendidikan, hiburan, kontrol Islam atau
dalam istilah Islam amar ma’ruf nahi munkar dan bisa juga berfungsi sebagai
lembaga profit atau ekonomi.
Dalam kitab Masyrû’
Dustûr Dawlah al-Khilâfah (Rancangan Undang-Undang Dasar Negara Khilafah)
dijelaskan bahwa keberadaan suatu media massa tidaklah memerlukan izin (tarkhîs)
dari negara, tetapi cukup menyampaikan pemberitahuan kepada Departemen
Penerangan. Pasal ini juga menerangkan pihak yang harus bertanggung jawab
terhadap segala isi media, yaitu pemimpin redaksi.
Khilafah
menjamin adanya hak untuk menyampaikan suatu informasi kepada publik secara
terbuka melalui media massa. Namun, hak ini diatur dengan sejumlah kewajiban
dan syarat tertentu. Orang yang mau menerbitkan majalah atau mendirikan stasiun
TV dan radio, misalnya, memang tidak disyaratkan meminta izin (tarkhîs)
kepada negara, karena izin sudah diperoleh secara langsung dari syariah. Dia
hanya diwajibkan menyampaikan pemberitahuan (i’lâm) kepada institusi
negara yang terkait. Pemberitahuan ini hanya berupa sejumlah penjelasan yaitu
tentang: (1) jenis media massa, alamatnya, dan bahasa yang akan digunakan; (2)
nama pemilik media, kewarganegaraan, dan alamatnya; (3) nama pemimpin redaksi,
kewarganegaraan dan alamatnya. Pemilik media dan pemimpin redaksi ini haruslah
warga negara khilafah. Sebab, kewarganegaraan (tâbi’iyah) itulah yang
melahirkan hak dan kewajiban sebagai warga negara, termasuk hak menerbitkan
media massa.
Jika
kemudian hak ini disalahgunakan untuk menyebarkan ide bathil seperti
nasionalisme dan demokrasi, maka yang bertanggung jawab terhadap seluruh isi
media adalah pemimpin redaksi dan wartawan atau penulis artikelnya secara
langsung. Jadi, wartawan kedudukannya sama dengan warga negara lain. Jika
memang bersalah maka ia harus diadili dan dihukum. Tidak diistimewakan atau
mempunyai privilege tertentu yang membuatnya berbeda dengan warga negara
biasa. Ini sangat berbeda dengan wartawan Barat, yang sering tidak mau
bertanggung jawab dengan dalih ‘kebebasan pers’ atau merasa kebal hukum karena
media massa sudah dianggap sebagai pilar keempat dalam sistem demokrasi.
Namun,
ketika pemimpin redaksi atau wartawan suatu media massa diadili dan dipenjara,
tidak berarti medianya otomatis dibekukan atau dihentikan. Sebab, media hanya
dapat dibekukan atau dihentikan dalam satu keadaan, yaitu jika pemilik media
bukan lagi warga negara khilafah. Pihak yang berhak memberi peringatan,
membekukan, atau menghentikan operasional suatu media pun bukanlah pihak
penguasa (al-hukkâm), melainkan peradilan saja.
Dalam negara
khilafah, berita terkait pertahanan keamanan negara hanya diambil dari lembaga
penerangan resmi negara dan hanya memberitakan sesuatu yang
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya serta tidak menyebarkan ide yang
bertentangan dengan aqidah Islam.
Kantor
berita asing (seperti Reuter, AFP) atau perwakilan media asing (seperti
perwakilan BBC) harus mendapat izin dari Departemen Dalam Negeri. Departemen
ini juga yang berhak membekukan atau mencabut izin suatu kantor berita atau
perwakilan media asing. Produk cetak dari luar negeri yang masuk lewat jalur
perdagangan seperti majalah atau koran, harus mendapat izin Qadhi Hisbah.
Semua tindak
pidana media massa termasuk kategori ta’zîr, yakni hukuman yang tidak
ditentukan kadarnya oleh syariah, kecuali pidana qadzaf (menuduh
berzina) yang termasuk dalam kategori hudûd. Beberapa tindak pidana itu
adalah melakukan provokasi (tahrîdh), penghinaan (sabb),
memfitnah (iftirâ’) dan menuduh berzina (qadzaf), menyebarkan
gambar porno atau gambar aktivitas seksual, dan menyebarkan berita bohong.
Contoh pasalnya adalah sebagai berikut:
Siapa saja
yang di media memprovokasi publik agar tidak taat kepada khalifah, dipenjara
maksimal satu tahun (pasal 24); Siapa saja yang di media menghina tuhan-tuhan
atau akidah kaum kafir dzimmi, dipenjara maksimal enam bulan (pasal 27); Siapa
saja yang memfitnah di media, misalnya menuduh si Fulan koruptor atau menerima
suap, dipenjara maksimal dua tahun, kecuali ada bukti-buktinya (pasal 28);
Orang yang menyebarkan gambar porno di media, yaitu gambar (khususnya wanita)
yang menampakkan lebih dari wajah dan dua telapak tangannya, dipenjara maksimal
dua tahun (pasal 30).
Sedangkan
untuk komunitas nonmuslim, mereka tetap diberikan hak untuk mendirikan lembaga
pers bagi kepentingan pengajaran agama khusus komunitas. Selain itu juga tidak
diperbolehkan untuk menyebarkan ghibah atau berita mengenai individu yang tidak
diinginkannya untuk diberitakan kecuali terkait kedzaliman penguasa, serta
tidak pula diperkenankan untuk menyebarkan fitnah.
Sedikit
pemaparan ini setidaknya menunjukkan kepada kita bahwa sistem pers negara
kapitalis tidak tepat diterapkan di Indonesia karena menyebabkan masyarakat
sipil yang lemah harus berhadapan dengan korporasi global yang memiliki
kekuatan lebih besar dari negara. Sistem tersebut juga mengakibatkan
kepentingan negara dan jati diri bangsa yang berketuhanan serta berkedaulatan
menjadi terancam akibat opini nasional dan internasional yang dibentuk oleh
kekuatan asing. Pers adalah salah satu pilar yang dapat digunakan untuk
mengkokohkan posisi suatu korporasi sehingga perlu adanya upaya penerapan
sistem pers negara khilafah.
Wallahua’lam
bish showab.
*)
Disampaikan dalam forum Halqah Syahriyah, 23 Februari 2014
REFERENSI:
- Adian Husaini, 2002, Penyesatan Opini Sebuah Rekayasa Mengubah Citra, Jakarta: Gema Insani.
- Agus Sudibyo, 2004, Ekonomi Politik Media Penyiaran, Yogyakarta: ISAI dan LKiS.
- Agus Sudibyo, 2006, Politik Media dan Pertarungan Wacana, Yogyakarta: LKiS.
- Alex Sobur, 2009, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, Cetakan Kelima, Bandung: Remaja Rosdakarya.
- Burhan Bungin, 2001, Imaji Media Massa, Yogyakarta: Jendela.
- Darmanto, 2004, Membongkar Ideologi di Balik Penulisan Berita dengan Analisa Framing. http://www.oke.or.id
- Denis McQuail, 1994, Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Cetakan ketiga, Jakarta: Erlangga.
- Eriyanto, 2009, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta: LKiS.
- Ibnu Hamad, 2004, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa, Jakarta: Granit.
- Idi Subandy Ibrahim, 2011, Kritik Budaya Komunikasi, Budaya, Media, dan Gaya Hidup dalam Proses Demokratisasi di Indonesia, Yogyakarta: Jalasutra.
- Jerry D. Gray, 2006, Dosa-Dosa Media Amerika: Mengungkap Fakta Tersembunyi Kejahatan Media Barat, Jakarta: Ufuk Press.
- John Vivian, 2008, Teori Komunikasi Massa, Edisi Kedelapan, Diterjemahan oleh Tri Wibowo B.S., Jakarta: Kencana.
- Kun Wazis, 2012, Media Massa dan Konstruksi Realitas, Malang: Aditya Media Publishing.
- Mohammad Fadhilah Zein, 2013, Kezaliman Media Massa Terhadap Umat Islam, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
- Nadia Maharani, 2009, Sistem Pers Khilafah Perlu Diterapkan, http://www.harianjogja.com.
- Shiddiq Al-Jawi, Majalah Al-Wa’ie, RUU Pers Negara Khilafah, Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia.